Tuesday, March 26, 2013

Cerita seks Ngentot sama tante Ida



Tante Ida, suaminya perwira di satuan **** (edited) dan kami bertetangga. Kamar tidurku pas di sebelah dapur mereka (kami tinggal di komplek, di rumah dinas karena ayah saya itu pegawai sipil AD). Jadi hal yang biasa, bangunan tadinya terpisah di satu kompleks lama-lama dibangun dan tergabung. Dinding pemisah di depan kamarku itu pakai batu karawang dan ditutup dengan lembar seng. Di depan dapur Tante Ida itu mereka buat tempat cuci baju sebenarnya. Tapi si tante suka mandi di situ. Nah, aku sudah lepaskan ujung seng pemisah, jadi bisa mengintip. Buah dadanya besar. Pernah sekali kuintip terus, dia tahu dan cuma bilang, “Ayo kamu ngapain?” katanya. Hari Sabtu aku suka main ke rumahnya, anaknya masih kecil-kecil. Aku suka ke sana karena banyak majalah dan koran dari kantor si oom. Dan si oom lagi tugas belajar 1 tahun untuk naik pangkat ke Bandung. Di situ ada ibunya Tante Ida tinggal di situ juga, dia sudah janda; anaknya Tante Ida 2 orang, waktu itu umurnya 2 ? 3 tahunan. Ia menikah setamat SMA waktu itu.

Kira-kira jam 09.00 malam aku masih asyik bongkar majalah-majalah tua dan si tante memanggil dari kamar. “To, tolong dong Tante agak pegel, pijetin ya!” Biasa kami memang suka saling tolong, kadang ibu saya minta dikerokin sama Tante Ida atau Tante Ida minta dibuatkan kue, begitu deh tetangga yang baik. Aku sih tidak curiga walaupun sering aku intip. Lagi pula anak-anaknya masih pada bangun nonton video di kamarnya. Biasa film kartun. Aku rada enggan karena masih asyik baca, sebenarnya. Pintu kamar tidak ditutup, si oma masih di dapur sedang beberes, jadi tidak ada suasana yang mendukung untuk ngeres-ngeres. Aku masuk ke kamar masih sambil menenteng majalah, aku pikir sambil mijati (paling punggungnya, aku pikir) aku mau baca. Soalnya si Oma itu pelit, majalahnya tidak boleh dibawa pulang.
Waktu di kamar aku lihat Tante Ida pakai daster batik (itu lho yang murahan di Pasar Senen, 5 ribu ya satunya). “To, ini leher Tante kok kencang dan badan rasanya pegel linu, mau flu kali ya,” katanya. Kemudian dia duduk menghadap TV di kamar di ranjang besar (ukurannya king, kalau tidak salah) dan katanya, “Pakai itu saja To, krim Viva.” Aku ambil dan duduk di belakangnya, karena dia di tengah aku jadinya duduk juga ke tengah ranjang dan Tante ada di antara kakiku, majalah aku buka di samping kanan, aku separuh hati mau pijat karena sedang baca artikel menarik. Bisa dibayangi ya suasananya, masih ribet, ada anak-anak, ada ibunya, suara TV kencang. Pokoknya aku sih tidak ada intensi apa-apa.
Tante Ida membuka daster resleting belakangnya, dan aku tuang lotion ke telapak dan mulai memijat lehernya, sambil baca majalah. Terasa lehernya memang hangat lebih dari normal. Aku pijat pelan-pelan dan si tante mendesah keenakan (aku memang pintar mijat kayaknya). Sudah agak lama si tante bilang, “Tolong ke punggung bawah dong? dan sletingnya turuni lagi saja biar gampang.” Aku tarik sleting dan dasternya tersibak jauh ke kanan dan kiri. Aku agak surprised karena tidak ada tali BH (mestinya waktu mijat leherku sudah tahu ya karena di atas bahu tidak ada tali, dasar tidak niat jadi tidak konsen).
Aku tuang lagi lotion dan kusaputkan di punggungnya, “Uhh dingin,” kata Tante Ida sambil membungkuk ke depan lebih jauh. Aku pijati bahunya dan dasternya agak merosot dan dari kaca meja hias di sebelah pojok kanan TV aku melihat bukit susunya mulai tersembul separuh lebih dan pikiranku tiba-tiba agak mendesir, mulai deh ngeres. Majalah sudah tidak aku lihat lagi, penis terasa mulai keras dan aku sengaja memijatnya agak kugoyang-goyang bahunya dengan harapan dasternya merosot lagi. Eh, karena agak pas, tidak mau turun lagi. Wah bagaimana nih, aku agak maju duduknya tapi belum merapatkan barisan ke badan Tante Ida. Aku lanjutkan memijat ke arah lengan atas dan sengaja kudorong dasternya lagi dan kali ini berhasil, debar jantungku tambah kencang dan mulutku mulai kering. Dasternya turun lagi dan pinggir pentil buah dadanya sudah kelihatan. Tapi waktu kudorong lagi malah tidak mau turun, aku kecewa dan si tante juga diam saja. Ya sudah aku nikmati seadanya di kaca itu. Lalu aku pijat terus ke arah punggung dan aku ada ide, aku ulur tanganku memijat dengan keempat jariku mendekati meraba pangkal buah dadanya, lama aku memijat dan aku berusaha semakin ke depan keempat jariku (bisa dibayangi tidak). Ya, lumayan aku dapat juga tepi-tepi buah dadanya. Si tante diam saja sambil nonton TV, aku juga tidak berani melanjutkan macam-macam (takut ditampar pula).
Aku pijat makin turun ke pinggang dan dasternya susah menghalangi, jadi aku pijat dari luar (padahal kalau sekarang aku pasti berani ngomong, “Tante ini dasternya dibuka saja ya..” dasar masih tolol waktu itu). Dari pinggang aku terus ke pantatnya dan ketika itu penisku sudah keras kencang. Tiba-tiba si tante bergeser, pegal barangkali duduk diam terus, dan agak mundur, aku tidak sempat menghindar dan pantatnya kena penisku. Aku pakai celana pendek training dari kain kaos waktu itu. Dia kaget dan di kaca aku lihat dia agak mesem tapi masih diam. Aku juga terpana dan merasa salah. Tapi ya aku juga tidak geser menghindari, jadi aku biarkan saja. Terus si tante ambil selimut besar dan menutupi kakinya dan pahanya. Kemudian dia menyender agak ke belakang dan bisiknya, “Pijetin paha Tante dong!” Nah aku mau tidak mau karena dari belakang jadinya mesti merapatkan badan. Aku ulurkan tangan ke depan ke paha atasnya, agak bingung dan ketika aku lihat di kaca dia senyum, sambil merem matanya, buah dadanya masih kelihatan sisi atasnya dan pungungnya terasa hangat di dadaku dan mukaku dekat lehernya yang jenjang. Aku tak sengaja bernafas di lehernya dan telinganya dan dia menggelinjang geli. Ya, aku juga jadi berani dan kuulurkan tangan ke depan memijat paha atas dari bawah selimut. Eh, si daster rupanya sudah disingkap ke atas dan aku terpegang paha Tante Ida tanpa daster lagi.
Lututku sudah lemas dan nafasku sudah tidak teratur mendesah di lehernya yang jenjang. Aku pijat pelan-pelan dan tiba-tiba aku merasa tangan Tante Ida menjamah ke belakang dan menyentuh penisku. Aku seperti kena lisrik dan sempat agak menjerit, eh si tante bilang, “Ssst.. diam. Apa sih ini keras bener?” tanyanya sambil nanar menatap aku di kaca. Dan tangannya meraba makin ke tengah penis dan tiba-tiba dia membuka kancing celana (kalian tahu kan celana kain kaos itu, kancing “cepret”-nya cuma dua dan aku memang tidak pakai celana dalam lagi). Dan Tante Ida menggenggam batang penisku. “To, raba terus pahaku di atasnya, aku juga masukkan tanganku, astaga! tidak ada celana dalamnya.” Dan aku teruskan jari-jariku (sudah jadi berani dan otakku sudah kacau tidak peduli ada anak-anak di lantai bawah di depan kami itu, dan suara si oma di dapur masih klontang klonteng orang berberes). Lebih kaget lagi aku tidak menemukan rambut apa-apa di pangkal paha atas Tante Ida itu. Padahal waktu aku intip tempo hari seingatku lebat sekali tuh.
Kuraba-raba terus dan di kaca kelihatan Tante Ida mukanya seperti orang bingung keenakan (padahal aku belum masukkan ke lubangnya, masih bego aku, karena ini pengalaman pertamaku, eh aku waktu itu masih di SMP kelas 3). Tante Ida agak mengangkangkan pahanya dan aku terus mengusap-usap dan menangkupkan telapakku di bukit gundul itu, tidak tahu mesti apa (uih guoblook tenan kalau kata Basuki). Hangatnya bukan main, sementara tangan si tante masih mengurut-urut lembut batang penisku, aku duduk agak maju lagi. Auhh, enaknya bukan main deh dipegang sama wanita itu. Badan Tante Ida harum juga karena lotion dan ada semerbak jasmine. Kulit Tante Ida itu hitam manis. Akhirnya dia menyender total dan tanganya di penis dan buah zakarku, ujung penisku sudah kuyup sama seminal fluid yang keluar. Aku sudah kepingin benar menangkupkan tangan di buah dadanya tapi susah karena pasti bisa kelihatan anak-anaknya. Tiba-tiba aku ingin kencing dan agak sakit rasanya, aku bingung dan akhirnya aku bilang tante bahwa aku ingin kencing. “Ohh.. ya sudah kamu ke kamar mandi Tante situ!” Aku bangun dan ke kamar mandi dan sambil menyesel-nyesel takut nanti si tante berubah pikiran. Aku kencing dan.. astaga! itu kepala penis sudah benar-benar basah, kalau tidak karena kehalang kencing sudah orgasme mungkin tadi itu. Setelah kencing aku bersihkan si kepala jamur yang sudah merah tua sekali warnanya.
Waktu aku balik, si tante sudah kemulan sama selimut sambil duduk, aku duduk lagi di pinggir ranjang dan Tante Ida bilang, “Ayo To, pijetin lagi, kamu duduk lonjorkan kakimu!” Wah aku jadi semangat lagi, penisku sudah agak layu setengah ereksi. Kancing “cepret” celana pendekku aku tidak kancing lagi. Begitu duduk aku rapatkan lagi barisan (he he..he seperti baris berbaris saja). Aku kaget karena ternyata dasternya tidak ada, pantas Tante Ida kemulan selimut. Dan dia tidak duduk tapi berlutut bersimpuh agak nungging ke depan. Dia membisikkan, “To, biar Tante duduk di atas pangkuanmu.” Aku melonjorkan kaki rapat dan si tante mengangkang lalu duduk berlutut pantatnya persis di atas penisku, aku benar-benar setengah masih merasa apa ini mimpi basah saja. “Kamu pengen pegang susu Tante kan, ayo kamu raba.” Dan di dalam selimut itu aku bebas, tanganku merajalela. Duh enaknya memerah susu kenyal, dan putingnya terasa kasar di telapak tanganku, seketika mengeras dan si tante begitu aku meremas gemetar dan bibirnya terlihat di kaca digigitnya. Aku meremas-remas seperti tukang roti mengaduk adonan roti. Tangan Tante Ida juga tidak diam, dia menggenggam penisku dan digosok-gosokkan di bibir vaginanya. Aku merasa luar biasa hangat itu bukitnya. Dan tanganku kedua-duanya aktif sekali. Jariku memilin pulir-pulir dan melintir putingnya, besarnya ada sebesar jari kelingking (anaknya doyan ASI kali ya). Ukuran buah dadanya berapa ya, ada 38C barangkali.

Tiba-tiba dia duduk di pangkuanku dan, “Bless..” masuk kepala jamurku, aku terkejut karena tidak menyangka akan begitu, aku pikir cuma mau dimasturbasi saja. Benar tidak siap mental aku kehilangan perjakaku dengan keadaan seperti ini, aku selalu membayangkan sebelumnya lain. Aku bayangkan dengan teman sebaya. Dan luar biasa namanya otot vagina itu bisa ya seperti nyedot begitu dan seperti dijepit dengan apa ya.. susah jelaskan. Kami beraksi tanpa bicara banyak, dan sambil takut si ibunya datang atau anak-anak itu kan bisa tiba-tiba lari ke ibunya. Dan Tante Ida turun pelan-pelan, aku merasa agak sakit waktu turun itu, kulit kepalaku ikut tertarik terus (aku tidak dikhitan). Dan akhirnya Tante Ida sudah duduk rapat di atas pangkuanku. Dan ia mulai berputar-putar hanya pinggangnya saja, dan nanar mataku menikmati itu. Jadi penisku di dalam terus, Tante Ida tidak maju-mundur, ia cuma berputar searah jarum jam atau ke depan belakang, aku terus meremas-remas adonan daging dadanya. Dasar aku masih belum bisa, baru kira kira 4 – 5 menit aku sudah merasa gelombang orgasmeku mulai meluap dan aku tidak bisa ngomong cuma remasan di buah dada Tante Ida. Tanpa sadar aku jadi meremas kencang sekali. Tante Ida tahu dan dipercepatnya dan perahan ototnya tambah kencang, ia juga rupanya (aku tahu belakangan) mau mencapai orgasmenya.

Ia duduk di penisku masuk dalam sekali dan terasa bibir vaginanya di buah zakarku, ia memutar hebat dan aku orgasme terhebat dalam sejarah hidupku sampai waktu itu. Supaya tidak menjerit aku tekan mulutku di punggung Tante Ida. Dia juga rupanya sampai dan terengah-engah. Tiba-tiba si Ita anaknya yang besar melihat ke kami dan katanya, “Mama kenapa?” Kami seketika membeku diam dan untung si Ika nonton terus karena pas film kartunnya lagi asyik. Pelan-pelan Tante Ida mencabut sambil mengencangkan cengkraman ototnya, rupanya supaya spermaku jangan tumpah kemana-mana. Dan dia bangun sambil membawa selimutnya terus ke kamar mandi. Aku cepat bersila dan kututup dengan majalah. Wah baru aku nutupi dan Tante Ida masuk kamar mandi, Bu Etty si oma masuk kamar dan bilang,
“Eh, anak-anak ayo tidur sudah hampir jam 10.00 malam nih. Eh ada nak Toto juga, mana Ida?”
“Oh.. itu..” gelagapku, “Lagi ke kamar mandi.”
Untung si oma tidak curiga dia kira aku ikut nonton barangkali ya.
“Ayo Oma mau bobo!”
Pas film kartunnya habis dan mereka bilang,
“Selamat malam Kak..”
Begitu mereka pergi aku ikutan masuk kamar mandi, dan si tante masih jongkok sedang mencuci vaginanya. Aku dekap dari belakang dan si tante berdiri dan kegelian karena penisku mentul-mentul menyentuh bukit pantatnya. Aku belum lihat benar bagaimana badan si tante dan aku agak mundur.
Seketika penisku tegang lagi karena yang kulihat sekarang nyata bukan dari tempat mengintip. Dan tangan si tante memegang lagi batang penisku sambil menyiramnya untuk mencuci yang tadi. Aku gemetar karena pengalaman seperti ini luar biasa untuk anak seumurku. Buah dada Tante Ida menantang dan tegar, kelihatan pori-porinya meremang karena udara agak dingin di kamar mandi. Dan itu bukit vaginanya gundul sekali dan agak merekah merah terbuka bekas tadi. Aku tak tahu mesti apa selain meraba buah dadanya lagi kali ini dari depan. Tante Ida menarik aku dan mencium bibirku, aku menurut saja dan badan kami merapat. Tangannya terus mengurut-urut batang penisku. Dan aku meraba pantatnya yang sintal kencang. Buah zakarku pun diremas-remasnya pelan-pelan. Kemudian Tante Ida menaikkan kakinya sebelah ke atas bak dan dimasukkannya lagi penisku. Lincir sekali dan panas terasa di batangku. Kali ini Tante Ida bergoyang maju-mundur dan pantatku juga ditekannya mengikuti irama. Aku ikut saja menggoyangkan sambil memeluk, mengisap putingnya, mencium bibirnya.
Beberapa saat kami bergoyang sama-sama, tapi pahanya Tante Ida pegal rupanya dan dicopotnya penisku, kemudian ia berbalik dan nungging pegangan ke bak mandi. “To dari belakang To,” dan tangannya diulurnya dari tengah selangkangannya, ditariknya penisku dan pelan-pelan digosoknya ke bibir vaginanya. Aduh panas banget deh itu bibir, terus aku desak maju dan “Bless..” kepala jamurku masuk bergesek-gesek lincir dengan dinding lubangnya. Tante Ida juga bereaksi dan pinggulnya berputar seperti penari perut itu. Aduh luar biasa deh, aku nanar dan tidak bisa mikir lagi. Pantatku maju-mundur penisku menggaruk-garuk lubang. Dari posisi ini aku bisa lihat jelas batang penisku basah kuyup dan bibir vagina Tante Ida ketarik keluar-masuk. Tanganku mengulur ke depan meremas buah dadanya yang menggantung besar dan bergoyang menggeletar, nafas Tante Ida mendengus desah. Akhirnya aku meledak-ledak lagi dan Tante Ida terbantar dia rupanya sudah duluan orgasme. Setelah itu kami mandi di pancuran sama-sama dan saling meraba-raba berpelukan dan aku puas sekali memerah susunya. Buah dadanya juga buat aku bagus sekali, aku puas sekali meremas-remas itu. Luar biasa wanita ini.
Kemudian kami lanjutkan lagi di ranjang. Dan aku cuma bisa rebah di bawah dan Tante Ida yang naik di atas. Pantatku diganjal dengan bantal dan terasa penisku lebih terulur, si tante meremas penisku yang lemas dan pelan-pelan diciumnya kepala penis dan akhirnya dimasukkan ke mulut dan aku melenguh-lenguh geli dan agak linu karena sudah dua kali main. Tak lama penisku tegang lagi dan tante naik menunggangiku sekali lagi menghadapi aku. Buah dadanya bergayut bebas dan liar, aku meremas-remas sambil menikmati kenyotan vaginanya yang kencang sekali. Tante Ida ini benar-benar kuda betina binal sekali. Diputarnya pinggulnya dan terasa sekali dinding otot daging vaginanya meremas-remas batang penisku. Pelan-pelan orgasmeku mulai bergelombang akan keluar tiba-tiba, dicabutnya vaginannya, aku menjerit, “Aduhh Tante terusinn dongg..” Dia tertawa dan diputarnya badannya dan dipegangnya penisku yang sudah panas sekali. Sekarang tante membelakangiku, dibimbingnya penisku masuk, ia turun dan “Bless..” aku bisa melihat bibir vaginanya merekah dibelah penisku. Dan ia mulai lagi bergoyang seperti penari jaipong, luar biasa tak tergambarkan, enak.
Tak lama aku meledak, dan si tante mengandaskan penisku semua masuk dan ia masih membuat gerakan memutar dengan pinggulnya dan kakinya lurus, ditekannya habis dan tante pun meledak-ledak melenguh keras, “To.. enak sekali To..” Benar-benar wanita luar biasa. Dia bilang dia suka sekali hubungan kelamin. Tapi suaminya sering tugas ke luar kota dan seperti sekarang ini setahun penuh belajar di **** (edited). Malam itu jam 24.00 lebih baru aku dilepas sama Tante Ida. Aku masih berkali-kali lagi sama dia selama suaminya sekolah itu. Dan ketika aku kemudian sama Ita anaknya, Adeline keponakan Tante Ida juga aku sempat enjoy sama-sama waktu Tante Ida ke luar kota sama suaminya.
Aku masih berkali-kali lagi sama dia selama suaminya sekolah itu. Dan ketika aku besar kemudian Ita anaknya juga pernah ngelmu sama aku (gantian setelah aku ngelmu sama seniornya). Adeline keponakan Tante Ida juga aku sempat enjoy. Ada lagi Mbak Icih pembantu di rumahnya yang molek juga. Pengalaman-pengalaman di situ sangat berkesan dan mendidik aku tentang hal sex.
Besoknya tengah hari, aku ke rumahnya lagi karena pagi-pagi tadi aku terbangun sudah tegang sekali terbawa ke impian segala pengalaman pertama itu. Aku mengharapkan bisa main lagi karena biasanya anak-anaknya suka dibawa jalan-jalan sama ibunya Tante Ida kalau hari Minggu. Rupanya sudah pada pergi karena sepi sekali, wah asyik aku pikir dan nafasku terasa sudah terengah-engah membayangkan apa yang akan aku alami. Kok sepi sekali, tidak kedengaran suara, ah mungkin si tante tidur, aku pikir. Aku pelan-pelan ke kamarnya, tidak ada. Kemana ya? Di kamar mandi aku lihat juga tidak ada. Aku ke paviliun kamar Bu Etty ibunya Tante Ida mungkin lagi beres-beres di situ, pikirku. Tanpa mengetuk aku masuk dan dari balik pintu aku lihat ada bayangannya sedang membungkuk membelakangi di dekat ranjang, segera aku masuk dan kupeluk dari belakang sambil meremas-remas buah dadanya. “Aiihh..” jeritnya. Astaga! rupanya Bu Etty, bukan Tante Ida sedang setengah telanjang baru mandi.
Aku ternganga dan tidak bisa bicara dan Bu Etty lemas karena kaget terduduk di ranjangnya. “Duhh nak Toto kenapa ngagetin Ibu..” dan dia terduduk di ranjangnya, handuk yang sekedar menutup tubuhnya tidak cukup panjang sehingga bagian atas handuk turun ke perutnya buah dadanya menggandul lepas bebas. Aku tambah menganga melihat itu dan penisku di dalam celana pendekku tidak tahu diri, dia masih tegak saja seperti tiang bendera tujuh belasan. Kami terdiam dan Bu Etty tak berusaha menutup buah dadanya yang masih sintal. Memang ibu dan anak ini dikaruniai tubuh yang amat seksi. Bu Etty umurnya kurasa sudah berumur tapi badannya amat terpelihara, ya seperti itu loh ibu-ibu yang rajin minum jamu-jamuan. Buah dadanya sama seperti Tante Ida biar agak sedikit turun, dan dia lebih tinggi dari Tante Ida, jadi anggun sekali.
“Mau ngapain nyari Tante Ida?” tanyanya tanpa sungkan.
Aku tergagap-gagap.
“Eh.. oh itu mm nyari majalah..”
“Lho kok meluk-meluk dan meremes-remes tetek orang,” sergahnya.
Aku tambah pucat dan tidak sadar atau terpikir bahwa Bu Etty kok tidak berusaha menutupi payudaranya itu yang kontal-kantil di depanku.
“Itu anu.. anu.. aku.. sa.. sa.. saya tidak sengaja..” gagapku.
“Mana bisa tidak sengaja orang kamu sudah ngeremes-remes, sakit tahu..” bentaknya lagi, “Sini kamu!” sergahnya.
“Tanganmu lancang sekali ya, coba sini mana tanganmu! aku mesti laporin sama ayah kamu.”
Aku sudah tambah hijau biru pucat pasi dan keringat dinginku deras mengalir di punggungku. Penisku yang tadi sudah tegang jadi mengkerut kecil sekecil-kecilnya lembek di dalam celanaku seperti kura-kura kena gertak kepalanya, masuk deh ke dalam batoknya. Malah ingin ngompol rasanya.

Kuulurkan tangan yang gemetar dingin dan dipegang oleh Bu Etty.
“Ya sudah,” katanya.
“Ini ayo remas-remas lagi, kan kamu pengen,” sambil menaruh kedua telapak tanganku di atas buah dadanya.
Aku tambah takut dan bingung, tidak percaya, dan kutarik tanganku kembali begitu menyentuh buah dadanya seperti kena panci panas. Bu Etty malah jadi tertawa kecil. “Nak To, jangan cemas tidak ngegigit kok buah dadaku,” derainya sambil tersenyum sekarang. “Aku kemarin malem lihat kok kamu jam berapa pulang dari sini, dan ya aku ngerti kok si Ida itu sama saja memang nafsunya besar sekali. Seperti aku juga,” ujarnya. “Ibu juga seminggu mesti sedikitnya 4 kali main,” katanya tanpa malu-malu. Aku hanya bisa mengangguk-angguk tidak tahu mesti menjawab apa. Tahu dong kalian kalau habis begitu kan perut masih mual enek, terkaget-kaget, duh untung aku tidak ngompol di depan dia deh. Mana dia ngomongnya blak-blakan begitu seperti bukan orang Indonesia saja. Aku merasa pening sakit kepala.

“Duh nak Toto kaget ya,” sambil berdiri ia menarik aku dan dipeluknya kepalaku ke buah dadanya. Baru aku agak tenang, dan tiba-tiba terasa tangan Bu Etty turun ke pinggangku dan “Sret..” sekali tarik celana kaosku sudah ditariknya separuh turun. “Hi.. hi.. hi.. lihat nak, mengkerut kecil tuh si buyung. Kasian deh kamu, sini Ibu hiburin dia,” sambil ditariknya kepala penisku yang tidur, ia membungkuk dan seketika handuknya terlepas total jatuh di kakinya dan bebaslah tubuhnya yang jangkung itu dari segala hambatan. Beda dengan Tante Ida, Bu Etty kulitnya kuning, turunan Sunda sih. Tante Ida mungkin dapat kulitnya hitam begitu dari bapaknya yang turunan Ambon barangkali.
Ia berjongkok di depanku, ditaruhnya penisku di tapak tangannya dan disaputkan ciumannya di penisku sepanjang batangnya, disaputkan dengan halus batangnya, disaputkan dengan halus, ketika si “Joni” dikasih angin begitu langsung mulai memanjang deh. Tangannya meremas-remas lembut sekali di buah zakarku dan aku juga masih shock karena belum pernah tahu ada soal cium mencium alat vital. Dengan jelas kemarin sama Tante Ida cuma dia kenyot sebentar saja, duh bodoh benar deh kalau ingat itu.
Didorongnya aku ke tempat tidurnya dan mulutnya sekarang mulai merekah dan lidahnya terasa kasap keluar menjilat-jilat batang penisku. Tak terkira nikmatnya dan aku cuma bisa mengeluh lenguh, “Aahh.. ahh..” Kubaringkan badan di tempat tidur Bu Etty dan si ibu pelan-pelan sambil terus menghisap kepala penisku. Bu Etty kemudian berputar dan akhirnya vaginanya di atas mulutku. Terbelalak aku melihat rimba lebat dan mulai merekah lubangnya yang merah seperti kerang mentah itu. Aku cuma mencium bau nafsu yang keluar dari situ dan kelihatan mulai basah lubangnya. Tiba-tiba Bu Etty menurunkan pinggangnya dan seketika vaginanya hanya tinggal 1 cm dari mulutku. Aku angkat kepalaku dan mencium sedikit bibir vaginanya. “Ahh..” lenguh Bu Etty. “Terus terus To..” wah langsung kusergap dan kukenyot kencang-kencang dan lidahku beputar-putar menjilat-jilat lubang dan tepian bibir vaginanya. Tidak mengerti sih mesti diapain.
Dan Bu Etty melepas penisku dan ia duduk di atas bibirku sambil menggosokkan berputar di atas mulutku, wah aku hampir tidak bisa bernafas. Paha atasnya terasa mengepit kepalaku dan terasa cairan dari lubangnya tambah banyak. “Ayo To, lidahnya jilatkan ke atas ke bawah sepanjang bibir vagina Ibu,” jelasnya. Wah tambah deh ilmuku. Kelak ilmuku ini ternyata digemari sekali oleh wanita-wanita yang pernah kutiduri, ya ini dapatnya waktu sama Bu Etty ini. Eh, ngomong-ngomong hati-hati ya kalau oral karena salah satu sumber penyebaran AIDS juga dari cara ini (hayo mau kamu kondomin gimana tuh).
Tiba-tiba kurasa tekanan pinggangnya tambah kencang kandas memepetkan vaginanya ke bibirku dan ia menjerit-jerit kecil, “Ahh.. ahh.. enakk.. hebat kamu To.. Ibu enakk sekalii..” rupanya ia orgasme dengan hebat sekali. “Hah.. hah.. hahh.. uhh..” ia terengah-engah dan bibir vaginanya menempel dan ia terbadai terduduk. Vaginanya masih menempel di mulutku dengan rapatnya. Kutelan cairan-cairan yang mengalir menetes dari dalam liangya. Dan kudorong sedikit pantatnya itu sambil lidahku menjilat di sekitar sisi luar bibir vaginanya terus ke arah pantatnya, aku jilat-jilat pelan. Terasa kasarnya lidahku membuat ia bergelinjang geli. “Ahh.. ahh.. Toto kamu kok.. pin.. ter.. sekalii..” Dan penisku sudah tegang keras bukan main yang tadi tersia-sia, disergapnya lagi dan dimasukkannya lagi ke dalam mulutnya dan disedotnya dengan kuat. Lidahnya melilit-lilit di sekitar kepala penis mengikuti lekak lekuk dan nikmatnya tak terbayangkan, sulit kuceritakan di sini. Aku mengejangkan kakiku dan pantatku sampai terangkat-angkat dari kasur sehingga penisku tambah panjang terisap-isap Bu Etty. Bu Etty mengambil bantal dan disedakkannya di bawah pantatku sehingga terasa sekali penisku seperti terdorong ke atas tambah panjang.
Bu Etty terus mengenyot dan kepalanya ikut maju-mundur sambil kedua tangannya meraba-raba zakarku. Sekali-kali dirabanya sekitar antara pantatku dan zakar. Kukunya yang panjang menggaruk-garuk halus dan gelinya bukan main, menambah nafsuku. Sampai merinding semua kulitku. Aku terengah-engah sudah tak sadar bagaimana tingkah kelakuanku. Bu Etty masih tetap nungging di atas kepalaku dan pemandangan vaginanya menambah nikmat. Kutarik lagi pantatnya dan kulumat-lumat dengan mulutku lagi. “Auhh aihh..” terdengar suara Bu Etty terhalang penisku dan seketika kulitnya meremang merinding karena geli dan nafsu.
Aku tiba-tiba merasa spermaku mulai bergelombang mau keluar, kulepas ciuman di vagina Bu Etty dan aku berderau parau, “Ahh.. Buu.. terus.. terus..” Tapi tiba-tiba Bu Etty melepaskan mulutnya dan dicekiknya batang penisku sampai sakit sekali dengan kukunya, “Aauu.. aduhh aduhh..” jeritku kesakitan. Aku terkejut sekali dan kecewa karena gelombang nikmatnya jadi hilang lenyap, terasa aku frustasi dan mau meledak marah rasanya. Bu Etty sambil bangkit duduk di sisiku sambil tertawa dan katanya, “Sudah ya nak Toto.. pakai bajunya gih..” Mulutku selebar Goa Gajah ternganga bingung. Sadis amat ini orang, kok begini Bu Etty, pikirku. Maksudnya apa?
Mataku merah dan rasanya berkunang-kunang, pusing rasanya kepalaku dan aku tidak tahu mesti ngapain. Nafsuku masih menggebu-gebu, nafasku terasa menderu. Akhirnya aku gelap mata dan kutubruk Bu Etty sampai terjatuh di atas ranjang dan kubuka pahanya dengan paksa. Terasa ia mencoba menutup pahanya melawan dan kucegah dengan kedua pahaku. Tangannya kutekan ke kiri dan kanan di atas keranjang dan ia meronta-ronta. Kutabrakkan penisku ke lubangnya, waduh susahnya, karena ia menggelinjang-gelinjang. Mulutku mengecup dan mengisap putingnya. Aduh gimana nih aku sudah nafsu sekali tapi penisku tidak masuk-masuk. Tiba-tiba kucoba gigit sedikit putingnya dan “Kres..” kucengkeramkan gigiku. “Auu..” jeritnya dan pinggangnya terdiam, langsung aku manfaatkan dan kepala penisku kudesakkan masuk ke lubangnya yang basah. Dan aku genjot kandas batang penisku sedalam-dalamnya biar Bu Etty tidak berontak-berontak lagi, takut lepas.
Ia masih mencoba meronta-ronta dan nikmatnya hentakan ronta-rontaan itu ke vaginanya di batangku. Kupaku dengan penisku dan aku tindih dengan badan juga, buah dadanya yang sintal lepas tertekan dadaku dan tanganku masih mencengkeram kedua tangan Bu Etty. Setelah dia agak diam, aku goyang hanya berputar-putar tanpa mencabut batangku lagi kencang-kencang, habis takut dia berontak lagi. Terasa buah zakarku gondal gandul bergesek-gesek menghantam menekan sisi bibir vaginanya yang tebal dan bulunya menggesek-gesek buah zakarku, geli sekali dan meledak-ledak spermaku dalam 2 menit di situ. Aku lupa diri, luar biasa nikmatnya karena tadi tidak jadi keluar waktu di “karaoke” sama Bu Etty dan badan kami kejang-kejang. Tiba-tiba Bu Etty membalik dan ia sudah di atas dan ia menggoyang-goyang pinggulnya dengan putaran kuat. Mataku terbeliak-beliak nikmat. Buah dadanya bergoyang-goyang liar dan kutangkap dengan kedua tanganku dan kuperah. Bu Etty juga mendesah-desah keras, akhirnya orgasme lagi, akhirnya terhempas ia ke atas tubuhku yang penuh keringat.
“Nak Toto enak ya,” katanya sambil tersenyum.
“Tadi kusengaja itu karena dengan gitu nikmatnya lebih tinggi lagi.”
“Duh Ibu pintar sekali sih, belajar dimana sih?
“Lho kan Ibu turunan orang Sunda juga nak Toto, kalau itu memang bakat alam soal ginian, makanya pada pinter kalau jaipong.”
“Oh itu tadi gerak jaipong ya Bu..”
“Iya dong..” katanya sambil mencubit pelan di buah zakarku yang sudah mengkerut keriput.
Penisku masih setengah berdiri dan kepalanya merah tua basah (with an apology to our Sundanese reader or is it a compliment? No offence meant ladies buddy, that was my best experience ever.. viva Sundanese). Kami lalu mandi bebersih bersama-sama saling menyabuni. Kemudian ya jadinya main juga sekali di kamar mandi sambil berdiri. Aku bereksperimen diajarkan sama si ibu, memasukkan penisku dari belakang. Bu Etty membungkuk dan goyang jaipongnya hanya di kepala penisku tanpa memasukkan seluruh batang. Beda kemarin sama Tante Ida, kami pakai gaya klasik maju-mundur penisku biar sambil Tante Ida nungging juga.
Kemudian aku diajarkan menjilati klitorisnya tanpa menyentuh bibir vaginanya, kakinya yang satu ditumpangkannya di tepi bak mandi sehingga terkuak bebas vaginanya di depan mukaku. Kulilitkan ujung lidahku di kepala klitorisnya dan ia menggelinjang, buah dadanya terpontal pantil menahan geli. Tanganku segera meraba ke atas dan berusaha kuperas-peras kedua buah dada itu. Tapi karena aku di bawah hanya dapat sedikit. Akhirnya Bu Etty agak membungkuk dan buah dadanya bergantung bebas. Gemas sekali aku dan kami bermain-main di dalam kamar mandi sampai hampir 1 jam.

Rupanya hari itu Tante Ida sekalian mau belanja, jadi ia pergi sama anak-anaknya, makanya Bu Etty yang di rumah. Sambil istirahat kami membuat minuman hangat dari termos di kamarnya dan duduk di ranjang di kamar Bu Etty. Kami tetap telanjang bulat.
“Bu, jadi tahu ya tadi malam aku main sama Tante Ida.”
“Iya dong nak, kan Ibu sudah pengalaman dan lumrah kok seperti Ibu bilang tadi kami memang wanita yang nafsunya kuat sekali.”
“Lalu, kata ibu tadi seminggu sedikitnya 4 kali, sama siapa biasanya Bu?” tanyaku sambil membaringkan badan memegang memilin-milin puting susunya.
“Oh.. Ibu sama teman-teman bertiga, ada semacam klub kecil,” katanya sambil tertawa renyah sambil ekspresi mukanya menahan geli dari pilinan jariku.
“Biasa kami nyari anak SMA, mahasiswa atau anak-anak muda dan kami bawa ke villa teman Ibu atau ke hotel juga.”
“Ibu makanya awet muda ya, itu kami selalu nyari perjaka-perjaka untuk diperawanin,” cekikiknya manja.
Tangannya juga iseng meraba-raba pantatku dan dari bawah pahaku ke belakang dijamahnya lagi buah zakarku.

“Ibu paling demen sama anak seumur kamu deh, nafsunya besar dan cepet sekali pulihnya, bentar-bentar sudah ngaceng lagi..” ujarnya.
Sambil terus meremas-remas buah zakarku dan batang penisku yang sudah mulai berdiri lagi. Didorongnya badanku sehingga aku rebah dan Bu Etty naik ke atas mengangkangkan pahanya dan ia berjongkok di atas penisku yang separuh tegang. “Diam ya nak To..” Pelan-pelan dipegangnya daging sosisku dan disaputkannya kepala penisku di tepi-tepi bibir vaginanya yang ada rambutnya. Aduh, nikmat sekali dan pelan diarahkannya ke lubang nikmat itu dan “Bless..” mulai masuk lagi, nikmat luar biasa walau penisku terasa agak perih digeber dua hari ini. Belum tegang penuh tapi vagina Bu Etty seperti bisa menarik masuk dan tekanan pinggulnya sedemikian rupa.
“Aku suka sekali di atas,” kata Bu Etty, “Karena bisa ngontrol gerakan dan garukan batang penis ke klitorisku,” katanya. “Sekarang diam, nak Toto rasakan merem deh.. merem..” Aku merem dan senut-senut terasa sekali dinding lubangnya berdenyut-denyut kencang. Bu Etty tidak ngapa-ngapain, hanya merem juga waktu kuintip. Aku merem lagi dan kuulurkan tanganku ke buah dadanya yang montok sekali itu. Duh.. seperti memegang melon. “Remes To.. remes!” keluhnya manja sekali dan penuh nafsu. Suaranya berdesah-desah, “Ahh.. ahh.. enakk.. putingnya To.. putingnya ibu atuh.. uhh..” Pinggulnya mulai berputar pelan-pelan sekali gaya penari jaipong dan kadang sambil jongkok ia menaik-turunkan pinggulnya. Hebatnya sedotan dari dalam vaginanya itu lho. Aku rasa kalau vacuum cleaner-nya rusak bisa tuh dipakai menyedot debu.
Buat aku ya enaknya buah dadanya tersaji di depan mataku dan tinggal ulurkan tangan saja. Aku meremas-remas buah melon yang kenyal itu.
“Bu, aku diajak ke tempat teman-teman Ibu dong..” ujarku tiba-tiba.
“Ha ha.. ha.. entar kamu apa kuat ngelayani kami-kami To?”
“Coba deh Bu..” bisikku sambil terus meremas buah dadanya.
“Gini deh, lain kali aku ajak kamu tapi aku tidak bilangin mereka kamu sudah pernah main ya.. biar lebih seru.. Kemarin sama nak Ida gimana enak?”
“Enak juga Bu, tapi kayaknya Ibu Etty lebih jago ya..” pujiku sambil mataku terbelalak-belalak karena genjotan pinggul Bu Etty tambah seru saja.

Bersambung ...